lazada

Selasa, 18 Desember 2012

Si Kakek Menebus Malu


TAMPANG boleh Pepabri, tapi semangat tetap Akabri. Itulah motto Mbah Bonari, 62, dari Malang (Jatim). Makanya, meski sudah kakek-kakek, dia tak bisa mengendalikan syahwatnya. Janda muda tetangga, Nastiti, 40, diselingkuhi juga. Begitu ketahuan dan diarak ke balai kampung, malu hati. Untuk nenebus malu, nekadlah dia gantung diri hingga wasalam.

Almarhum Menko Polkam Sudomo pernah bilang, lelaki itu selalu merasa: biar pusar ke atas sudah 60 tahun, puser ke bawah masih merasa 17 tahun. Maksudnya, meski sudah udzur, kaum lelaki masih peka dalam urusan tanggap darurat syahwat. Apa lagi jika istri di rumah sudah tak lagi mampu mengimbangi, si embah semakin bergairah. Padahal itu hanya sekedar teori. Prakteknya, mletho (meleset) kata orang Solo. Maklum lah, ibarat orang mau masak pakai kayu bakar, si api tak kunjung jadi, mblebes saja macam  kayu bakar habis kena ujan!

Bonari yang tinggal di Dusun Lokcari Kelurahan Pandanwangi, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, rupanya termasuk si embah yang terlalu bergairah. Ketika bini di rumah sudah tak lagi mampu melayani, dia mencari tokoh alternatif. Ndilalah kersaning Allah, di kala olahraga pagi hari yang menjadi hobinya selama ini, dia berkenalan dengan janda Nastiti di lain gang. Oleh si janda lalu dipersilakan mampir, diwedangi (dikasih minum) dan kemudian ngobrol ngalor ngidul.

Yang bikin Mbah Bonari betah, janda Nastiti ini lumayan cantik. Dalam usia 40 tahun, kelihatanna masih STNK begitu. Bodinya padet, sekel nan cemekel. Sejak itulah, asal habis olahraga jalan kaki di pagi hari, ujung-ujungnya Bonari mangkal di rumah si janda, kemudian wedang-wedangan dan ngobrol. Tentu saja tubuhnya menjadi lebih sehat, meski sering juga “sport jantung” karena membayangkan  janda Nastiti bisa diperlakukan bak istri sendiri.

Ternyata itu bukan sesuatu  yang sulit. Buktinya, seminggu setelah kunjungan rutin, Mbah Bonari tak hanya dijamu di ruang tamu, tapi malah dibenarkan masuk kamar.  Di sinilah sport jantung yang sebenarnya baru dimulai. Jika tadi di jalan senam pagi jalan kaki, kini di kamar Mbah Bonari senam asmara, menggumuli janda Nastiti bak istri sendiri. Setengah jam kemudian dia baru keluar dari rumah si janda dengan wajah sumringah. Ibarat mobil yang baru tune up dan ganti olie, tentu saja jalannya jadi semlintir (enak).

Tapi aksi mesum si kakek ini lama-lama ketahuan warga juga. Mereka terkejut ketika memergoki Mbah Bonari yang selama ini pakai celana pendek dan sepatu kets tiap pagi, pagi itu justru nggak pakai apa-apa di kamar janda Nastiti. Mereka bergumul dalam kondisi nglegena tanpa taling tarung (baca: telanjang bulat). Pasangan mesum itu lalu digerebek, diarak ke Balai Kampung untuk disidangkan. Putusannya, Mbah Bonari siap menikahi wanita itu, daripada urusannya menjadi berpanjang-panjang.

Mbah Bonari siap menikahi, tapi di rumah dia kena oposisi istri dan anak-anaknya,  bahkan dicap sebagai kakek yang tuwa ora nyebut (tak tahu diri). Mereka tak setuju bila si embah menikahi janda gatel Nastiti. Gara-gara itu Mbah Bonari jadi stress. Malu karena diarak rame-rame, juga malu karena janjinya pada si janda terancam gagal. Tak sanggup menanggung beban batin yang makin menumpuk, akhirnya Mbah Bonari memilih mati gantung diri di blandar rumahnya.

Masalah jadi numpuk, karena doyan “numpuki” janda muda.
(BJ/Gunarso TS)
Source : POSKOTAnews.com