TAMPANG boleh Pepabri, tapi semangat tetap Akabri. Itulah motto Mbah Bonari, 62, dari Malang (Jatim). Makanya, meski sudah kakek-kakek, dia tak bisa mengendalikan syahwatnya. Janda muda tetangga, Nastiti, 40, diselingkuhi juga. Begitu ketahuan dan diarak ke balai kampung, malu hati. Untuk nenebus malu, nekadlah dia gantung diri hingga wasalam.
Almarhum Menko Polkam Sudomo pernah bilang, lelaki itu selalu merasa:
biar pusar ke atas sudah 60 tahun, puser ke bawah masih merasa 17
tahun. Maksudnya, meski sudah udzur, kaum lelaki masih peka dalam urusan
tanggap darurat syahwat. Apa lagi jika istri di rumah sudah tak lagi
mampu mengimbangi, si embah semakin bergairah. Padahal itu hanya sekedar
teori. Prakteknya, mletho (meleset) kata orang Solo. Maklum lah, ibarat
orang mau masak pakai kayu bakar, si api tak kunjung jadi, mblebes saja
macam kayu bakar habis kena ujan!
Bonari yang tinggal di Dusun Lokcari Kelurahan Pandanwangi, Kecamatan
Blimbing, Kota Malang, rupanya termasuk si embah yang terlalu
bergairah. Ketika bini di rumah sudah tak lagi mampu melayani, dia
mencari tokoh alternatif. Ndilalah kersaning Allah, di kala olahraga
pagi hari yang menjadi hobinya selama ini, dia berkenalan dengan janda
Nastiti di lain gang. Oleh si janda lalu dipersilakan mampir, diwedangi
(dikasih minum) dan kemudian ngobrol ngalor ngidul.
Yang bikin Mbah Bonari betah, janda Nastiti ini lumayan cantik. Dalam
usia 40 tahun, kelihatanna masih STNK begitu. Bodinya padet, sekel nan
cemekel. Sejak itulah, asal habis olahraga jalan kaki di pagi hari,
ujung-ujungnya Bonari mangkal di rumah si janda, kemudian
wedang-wedangan dan ngobrol. Tentu saja tubuhnya menjadi lebih sehat,
meski sering juga “sport jantung” karena membayangkan janda Nastiti
bisa diperlakukan bak istri sendiri.
Ternyata itu bukan sesuatu yang sulit. Buktinya, seminggu setelah
kunjungan rutin, Mbah Bonari tak hanya dijamu di ruang tamu, tapi malah
dibenarkan masuk kamar. Di sinilah sport jantung yang sebenarnya baru
dimulai. Jika tadi di jalan senam pagi jalan kaki, kini di kamar Mbah
Bonari senam asmara, menggumuli janda Nastiti bak istri sendiri.
Setengah jam kemudian dia baru keluar dari rumah si janda dengan wajah
sumringah. Ibarat mobil yang baru tune up dan ganti olie, tentu saja
jalannya jadi semlintir (enak).
Tapi aksi mesum si kakek ini lama-lama ketahuan warga juga. Mereka
terkejut ketika memergoki Mbah Bonari yang selama ini pakai celana
pendek dan sepatu kets tiap pagi, pagi itu justru nggak pakai apa-apa di
kamar janda Nastiti. Mereka bergumul dalam kondisi nglegena tanpa
taling tarung (baca: telanjang bulat). Pasangan mesum itu lalu
digerebek, diarak ke Balai Kampung untuk disidangkan. Putusannya, Mbah
Bonari siap menikahi wanita itu, daripada urusannya menjadi
berpanjang-panjang.
Mbah Bonari siap menikahi, tapi di rumah dia kena oposisi istri dan
anak-anaknya, bahkan dicap sebagai kakek yang tuwa ora nyebut (tak tahu
diri). Mereka tak setuju bila si embah menikahi janda gatel Nastiti.
Gara-gara itu Mbah Bonari jadi stress. Malu karena diarak rame-rame,
juga malu karena janjinya pada si janda terancam gagal. Tak sanggup
menanggung beban batin yang makin menumpuk, akhirnya Mbah Bonari memilih
mati gantung diri di blandar rumahnya.
Masalah jadi numpuk, karena doyan “numpuki” janda muda.
(BJ/Gunarso TS)
Source : POSKOTAnews.com